luckygetpinup azpinup1win casino1win casino
Hukum

Refleksi Akhir Tahun : Ketika Berperkara di Pengadilan Menjadi Formalitas dan Sistem Peradilan Kehilangan Ruh Keadilan*l

Sasaka.id, Nusa Tenggarang Barat – Akhir tahun seharusnya menjadi momentum evaluasi, bukan hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi sistem peradilan yang selama ini diposisikan sebagai benteng terakhir pencari keadilan. Namun, refleksi yang muncul justru getir proses berperkara di pengadilan semakin terasa sebagai formalitas prosedural belaka, jauh dari tujuan utamanya untuk menemukan kebenaran dan memberikan keadilan substantif.
Dalam praktik, pengadilan dan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian sering kali tidak menyelesaikan masalah, bahkan justru menambah persoalan baru.

Tidak sedikit perkara, baik perdata maupun pidana, yang berubah menjadi arena bisnis hukum. Keadilan seolah tidak lagi ditentukan oleh kekuatan argumentasi dan bukti, melainkan oleh seberapa besar kemampuan ekonomi para pihak.

Dalam perkara perdata, khususnya sengketa hak kepemilikan tanah, semestinya persidangan menjadi ruang paling objektif untuk membedah seluruh alat bukti secara terbuka siapa pemilik yang sah, siapa yang dirugikan, dan bagaimana fakta hukumnya. Namun, yang kerap terjadi justru sebaliknya. Fakta-fakta penting dikesampingkan, bukti tertulis dikalahkan oleh pengakuan sepihak, bahkan cerita tanpa dasar hukum dapat diterima sebagai pertimbangan putusan.

Salah satu contoh nyata adalah perkara sengketa tanah di Gili Air, di mana klien saya dikalahkan hanya berdasarkan keterangan satu orang saksi dari pihak lawan yang menyatakan bahwa tanah seluas 68 are milik klien telah dijual oleh ayah klien pada Tahun 1992. Ironisnya, tidak pernah ada satu pun bukti jual beli yang diajukan, tidak akta, tidak ada kuitansi, tidak ada saksi peristiwa yang mengalami langsung, menghadiri, melihat secara langsung peristiwa jual beli dan Hanya cerita lisan semata. Ketika hakim menerima “cerita” sebagai dasar mengalahkan bukti kepemilikan yang sah, di situlah hukum berubah menjadi dongeng, dan pengadilan kehilangan marwahnya. Akibatnya dapat ditebak pihak yang merasa sebagai pemilik asli tentu tidak akan berhenti memperjuangkan haknya. Perkara berlanjut ke banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali (PK).

Proses panjang ini bukan hanya menguras energi dan waktu, tetapi juga biaya yang tidak sedikit. Pada titik ini, peradilan berubah menjadi pertarungan daya tahan ekonomi, bukan lagi pencarian kebenaran. Mereka yang kuat secara finansial memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hingga tingkat akhir, sementara yang lemah perlahan tersingkir.

Kekacauan juga tampak pada soal kewenangan absolut antarperadilan. Dalam satu perkara di Pengadilan Negeri, terjadi “lempar kewenangan” yang absurd. Pada tahun 2018, dengan objek dan substansi perkara yang sama, gugatan dimenangkan oleh PN. Namun pada Tahun 2025, perkara serupa justru ditolak dengan alasan PN tidak berwenang mengadili pembatalan sertipikat karena termasuk ranah PTUN, meskipun perbuatannya jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum (PMH).

Anehnya, ketika perkara lain diajukan ke PTUN untuk menguji aspek administrasi, gugatan justru ditolak dengan alasan kewenangan berada pada PN karena menyangkut substansi hak. Lingkaran setan kewenangan ini membuat pencari keadilan terombang-ambing tanpa kepastian hukum.

Situasi tidak jauh berbeda dalam perkara pidana. Di tingkat kepolisian, hampir semua perkara besar maupun kecil, berpotensi menjadi ladang bisnis. Ini bukan tuduhan kosong, melainkan kesimpulan dari pengalaman empiris menangani hampir ratusan perkara. Banyak oknum penyidik telah dilaporkan ke Propam, baik di tingkat daerah maupun pusat. Namun, hasilnya nyaris nihil. Bukan karena tidak ada pelanggaran, melainkan karena mekanisme internal lebih sering difungsikan untuk menjaga nama baik institusi daripada menindak oknum secara tegas. Padahal yang seharusnya dikoreksi adalah perilaku personal, bukan institusinya secara keseluruhan.

Pertanyaannya kemudian apa makna interogasi mendalam, gelar perkara, dan prosedur panjang lainnya, jika pada akhirnya arah perkara ditentukan oleh perintah atasan, tekanan kekuasaan, atau pesanan pihak yang berduit? Tidak semua perkara memang bisa atau dibiarkan berlanjut ke tahap persidangan.

Mata rantai kepolisian, kejaksaan, pengadilan menjadi sistem tertutup yang sulit ditembus, apalagi oleh masyarakat kecil. Refleksi ini tidak dimaksudkan untuk menegasikan seluruh aparat penegak hukum. Masih ada hakim, jaksa, dan penyidik yang bekerja dengan integritas. Namun, selama sistem lebih permisif terhadap penyimpangan dan lebih lunak terhadap oknum, keadilan akan terus menjadi barang mahal.

Sudah saatnya pembenahan dilakukan secara lebih mendasar, tidak hanya struktural dan regulatif, tetapi juga moral dan spiritual. Gagasan sederhana namun substansial patut dipertimbangkan kegiatan rohani rutin di setiap instansi pemerintahan dan penegak hukum, dilakukan sebelum jam kerja. Bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai pengingat kolektif bahwa kekuasaan adalah amanah, dan setiap keputusan akan dipertanggungjawabkanbukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan Tuhan.

Jika kesadaran akan kematian dan pertanggungjawaban akhir terasa terlalu jauh, setidaknya dengan pembinaan rohani yang konsisten, hati dan pikiran para abdi negara dapat lebih terarah dan tercerahkan. Tanpa itu, sistem peradilan akan terus berjalan secara prosedural, tetapi kehilangan ruh keadilan yang menjadi alasan utama keberadaannya.
Akhir tahun ini, refleksi terbesar kita adalah satu hukum tidak kekurangan aturan, tetapi kekurangan keberanian dan kejujuran untuk menegakkannya secara adil dan amanah.ujar eva (red)

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Close